Senin, 21 November 2011

PENDAFTARAN INDONESIAMENGAJAR

Dukung dengan mengajar

Anda ingin membantu secara langsung mendidik anak-anak negeri ini? Indonesia Mengajar mengundang Anda: generasi terbaik bangsa ini untuk ikut menjadi bagian penting upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Mari menjadi Pengajar Muda!

Pendaftaran dimulai 03 November 2011 hingga 17 Desember 2011

Info lebih lanjut lehat di : http://indonesiamengajar.org/dukung-indonesia-mengajar/jadi-pengajar-muda/

RESENSI FILM BATAS

Tak Ada Anak yang Ingin Bodoh (Resensi Film Batas)


Jaleswari (kiri) dan Borneo di Film BATAS
Jaleswari (kiri) dan Borneo di Film BATAS
CERITA dalam film BATAS berdasarkan naskah yang ditulis oleh aktor senior Slamet Rahardjo Soejaro. Meski tidak based on true story, film ini harus diacungi jempol karena telah mengangkat kondisi masyarakat dan pendidikan anak negeri di wilayah perbatasan.
Adalah Jaleswari (diperankan oleh Marcella Zalianty) sebagai pemeran utama dalam film itu. Sosok perempuan yang putus asa ditinggal mati suaminya lalu mendapatkan tugas di perbatasan Indonesia dari perusahaannya. Keberangkatan yang didasari keputusasaan justru melahirkan optimisme baru.
Jaleswari mendapatkan tugas untuk menyukseskan program corporate social responsibility (CSR) di bidang pendidikan di Provinisi Kalimantan Barat, Kabupaten Pontianak, di wilayah perbatasan Indonesia dengan Malaysia. Kondisinya, guru-guru yang dikontrak untuk mengajar di sana tak bertahan lama. Hanya ada Adeus yang bertahan, itupun karena dia adalah pemuda asli daerah itu.
Adeus berhenti mengajar karena ada Otik yang menginginkan warga di desa itu tetap bodoh. Kebodohan warga dimanfaatkan supaya mereka terus memimpikan “surga” yang ada di negeri sebelah. Jaleswari yang akhirnya mengembalikan semangat Adeus agar kembali siap mengajar anak-anak di desa itu.
Tidak mudah membangkitkan semangat Adeus untuk kembali mengajar. Apalagi Adeus mendapat ancaman dari Otik yang kerap mengirimkan perempuan warga setempat ke negeri sebelah. Jaleswari juga diancam, bahkan diteror. Tapi, semangat belajar Borneo, bocah setempat yang punya semangat belajar membuat Jaleswari bangkit melawan teror itu.
Semangat Jaleswari juga membangkitkan semangat Panglima Galiong Bengker (kepala suku Dayak dalam film itu) untuk membuat warganya berpendidikan. Dia yang ”membentak” Adeus agar tak kalah semangat dengan Jaleswari untuk mendidik anak-anak di desa itu. Dia jadi harapan besar karena merupakan pemuda asli desa itu.

Nah, dari sedikit penggalan cerita itu ada sejumlah catatan yang bisa dijadikan bahan pembelajaran dan renungan kita semua.
Bahwa pada dasarnya, tidak ada orang yang ingin bodoh. Namun, untuk memberikan pendidikan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Toh, membalikkan tangan juga butuh proses.
Terutama di wilayah pelosok, banyak masyarakat yang terkesan membiarkan anaknya tumbuh tanpa pendidikan. Itu karena pendidikan seringkali berhadapan dengan kenyataan bahwa di pedalaman kemauan bekerja lebih dijunjung tinggi daripada kemauan untuk belajar. Warga di pedalaman sering berikir pendidikan ak akan ada gunanya di tempat mereka tumbih dan hidup. Seorang anak akan lebih dihargai jika pintar mencangkul, membajak sawah, mengasah benda tajam untuk berburu dan berkebun dan sebagainya. Anak pintar matematika seakan tak bisa diandalkan di tempat itu.
Padahal, hampir semua anak punya impian sendiri tentang pendidikan dan sekolah. Itu bisa saya rasakan sendiri saat bertugas sebagai wartawan di Madura. Meski di pegunungan, berjalan kaki berkilo-kilo meter (km) menuju sekolah, dan tidak mengantongi uang saku, banyak anak yang semangat belajarnya luar biasa. Anak-anak itu tetap berjuang mendapatkan pendidikan di tengah kenyataan keterbatasan pola pikir dan ekonomi orangtuanya dan keterbatasan infrastruktur pendidikan terdekat yang bisa dijangkau.
Orang tua anak yang berpandangan negatif pada pendidikan sesungguhnya tidak menaruh kebencian pada pendidikan. Mereka hanya membandingkan kondisinya dengan kenyataan. Tapi membuat mereka punya harapan pada pendidikan bukan hal yang sulit. Apalagi jika hal itu bertujuan memerbaiki nasib anaknya kelak.
Nilai yang terpenting dari berbagai keter-BATAS-an yang berkaitan dengan pendidikan adalah ”tidak ada seorang anak pun yang ingin bodoh”. Jika tidak percaya tanyakan ”Apa kamu ingin bodoh?” pada anak, adik, keponakan atau anak-anak sekitar Anda. Jika sudah tahu jawabannya, gerakkan hati Anda untuk menjamin mereka mendapatkan pendidikan yang layak.
Jangan menunggu pemerintah…!!!

http://hiburan.kompasiana.com/film/2011/05/24/tak-ada-anak-yang-ingin-bodoh-resensi-film-batas/ 

Sabtu, 19 November 2011

GAMBARAN ANAK PERBATASAN NEGERI KITA INDONESIA

Anak Perbatasan Pilih Bersekolah di Sarawak

Karena Lebih Murah dan Bermutu
Anak Perbatasan Pilih Bersekolah di Sarawak
Pontianak - Gubernur Kalimantan Barat, Cornelis, tidak memungkiri adanya anak usia sekolah di kawasan perbatasan yang memilih bersekolah di Sarawak, Malaysia. Ini karena kualitas pendidikan yang lebih baik serta biaya yang terjangkau. “Tantangan bagi Departemen Pendidikan Nasional,” kata Cornelis di Pontianak, Rabu (11/3), sewaktu bertemu rombongan Komisi X DPR. Ia menambahkan, minimnya sarana pendidikan dan guru untuk daerah perbatasan ikut menambah permasalahan tersebut. Di Aruk (Kabupaten Sambas) yang akan menjadi lokasi Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB), hanya mempunyai satu sekolah menengah kejuruan (SMK) untuk jenjang pendidikan menengah. Cornelis juga pernah mengunjungi sebuah desa di perbatasan Kalbar-Kalteng yang dapat dicapai menggunakan helikopter. Di desa tersebut, terdapat sebuah sekolah dasar yang dibangun pihak swasta, namun tidak ada kegiatan belajar-mengajar karena ketiadaan guru. Selain itu, Kalbar untuk 2011 akan kehilangan sekitar 10.000 guru karena sudah memasuki masa pensiun sejak diangkat tahun 1978. ”Untuk memenuhi kekurangan-kekurangan tersebut, repot. Dari luar Kalbar, mau atau tidak,” kata dia setengah bertanya. Pemerintah sudah menerbitkan aturan untuk mengangkat guru bantu menjadi PNS. Namun, lanjut dia, aturan tersebut tidak memperhitungkan guru bantu lulusan Diploma maupun Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD). ”Sehingga muncul unjuk rasa karena banyak guru bantu di Kalbar belum sarjana,” katanya. Pada pengangkatan PNS tahun 2008, salah satu yang mendapat prioritas adalah guru dengan penempatan daerah terpencil, pedalaman dan perbatasan. Ketua Komisi X DPR, Irwan Prayitno mengatakan, alokasi dana APBN untuk guru di seluruh Indonesia tahun 2009 mencapai Rp 486 miliar. Dana tersebut di antaranya untuk mendukung guru di daerah terpencil, pedalaman dan perbatasan. ”Ada insentif khusus dan pembangunan tempat tinggal, yang dananya dari APBN,” kata Irwan Prayitno dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu. Pemerintah daerah diharapkan pula dapat memberi dukungan untuk meningkatkan minat guru bertugas di daerah terpencil, pedalaman dan perbatasan. Sebelumnya, Dinata William, Camat Puring Kencana, Kabupaten Kapuas Hulu saat berkunjung ke Pontianak, Jumat (30/1), mengatakan, pada tahun ajaran 2007-2008, ia mendata ada 86 warga yang bersekolah di Sarawak, baik di tingkat SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi (PT). Di Malaysia, mereka tidur di asrama, mendapat asupan bergizi, serta pendidikan setara negara persemakmuran lainnya. Jarak tempuh dari Puring Kencana ke Sarawak, sekitar 1,5 jam berjalan kaki naik turun bukit. Sementara itu, dari Puring Kencana ke ibu kota Kabupaten Kapuas Hulu, Putussibau, 10 jam kalau cuaca kering atau dua hari di musim hujan. (ant)

http://anakperbatasan.blogspot.com/

PENDIDIKAN DI PERBATASAN

Pendidikan di Perbatasan: Sekolah Rusak karena Kesalahan Penganggaran

  
Anggota Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian berpendapat, kesalahan penganggaran menjadi salah satu penyebab banyaknya sekolah di perbatasan Indonesia-Malaysia dalam kondisi rusak dan tidak bisa diperbaiki dengan segera. Menurut dia, kesalahan penganggaran karena penyusunan anggaran tidak berbasis data dan fakta yang ada.
"Pemerintah pusat entah lupa entah tidak tahu, menyamakan anggaran untuk wilayah perbatasan sama dengan wilayah lain di Indonesia yang relatif tidak punya masalah transportasi," kata Hetifah di Balikpapan, saat mengunjungi kawasan perbatasan Krayan, Long Bawan, Nunukan, Kalimantan Timur, awal pekan ini.
Ia mencontohkan, besaran anggaran pembangunan sebuah ruang kelas Rp115 juta per unit. Menurut dia, angka ini adalah patokan harga di kawasan perkotaan atau daerah yang relatif mudah dijangkau dengan transportasi darat atau air. Namun, angka yang sama kemudian dialokasikan untuk membangun sekolah di kawasan Krayan atau daerah terpencil lainnya di Indonesia.
"Padahal di sana perlunya Rp 300 juta per unit kelas," katanya.
Secara geografis, Krayan terletak di lembah-lembah pegunungan Schwanner. Kawasan ini bisa ditempuh selama 45 menit melalui perjalanan udara dengan pesawat udara berbaling-baling tunggal ke arah barat dari Nunukan, ibu kota Kabupaten Nunukan. Dengan lokasi yang seperti ini, maka harga-harga naik hingga 4-6 kali lipat dari harga di Nunukan. BBM, misalnya, per liternya Rp 20.000. Adapun, harga normalnya adalah Rp 4.500 per liter. Contoh lainnya, semen, yang merupakan komponen penting pembangunan fisik, mencapai Rp 600.000 per zak karena harus diangkut lewat udara karena tak ada jalan darat yang langsung menembus Krayan.
Untuk perbaikan 3 ruang kelas, diperoleh anggaran dari APBN sebesar Rp 350 juta. Jumlah ini, menurut Hetifah, menjadi dilema karena hanya akan cukup untuk membangun satu ruangan kelas. Jika tetap dibangun, akan menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan (BPKP).
"Jadi, akhirnya uang itu hangus dan harus dikembalikan ke kas negara," ujarnya.
Untuk mengatasi kondisi ini, ia berharap peran pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten. Dana APBN tersebut bisa ditambah dengan anggaran provinsi dan anggaran kabupaten.

http://www.indonesiango.org/en/ngo-activities/education/2582-pendidikan-di-perbatasan-sekolah-rusak-karena-kesalahan-penganggaran

Kamis, 03 November 2011

my first article

helloooo word.
this is my first blog
this is my first article

i want to learn online everything
help me please...